Beberapa waktu setelah hijrah ke Madinah, datang serombongan orang Yahudi kepada Rasulullah saw, memohon agar dua orang di antara mereka yang sudah berzina dijatuhi hukuman. Rasulullah saw bertanya, apa hukumannya dalam kitab Taurat. Mereka menjawab, wajah kedua orang yang berzina itu dibedaki dengan arang dan setelah itu dinaikkan ke atas kuda atau keledai lalu diarak keliling kota.
Seorang bekas pendeta Yahudi yang telah masuk Islam, kebetulan bersama Rasulullah saw berkata, mereka bedusta. Hukuman yang benar menurut Taurat adalah dirajam sampai mati. Setelah ini Rasulullah memerintahkan para Sahabat merajam dua orang yang berzina tersebut. Menurut sebagian ulama inilah peristiwa perajaman pertama dalam sejarah (masyarakat) Islam.
Setelah ini Rasulullah merajam beberapa orang Islam yang datang menghadap beliau, yang minta dibersihkan dari dosa karena berzina. Dalam satu peristiwa, lelaki yang dirajam itu berusaha melindungi si perempuan dari lemparan batu dan sesudah itu dia lari. Para Sahabat mengejarnya dan terus melemparinya sampai dia mati. Ketika hal ini disampaikan kepada Rasulullah, beliau berkata, kenapa tidak kamu biarkan saja dia lari, mungkin dia ingin bertaubat dengan cara yang lain.
Dalam kasus lain, seorang perempuan datang kepada Rasulullah mengadu sudah berzina dan mohon dihukum (dibersihkan dari dosa). Rasulullah saw bertanya apakah dia tahu arti zina. Ketika si perempuan menjawab bahwa dia tahu arti zina dan dia sudah hamil, Rasulullah meminta agar dia pulang dahulu dan menunggu sampai melahirkan. Setelah melahirkan, perempuan ini datang kembali memohon agar dia dijatuhi hukuman. Rasulullah kembali menyuruh dia pulang untuk menyusui anaknya. Setelah dua tahun, ketika anaknya selesai menyusui, dia kembali datang dan tetap memohon untuk dihukum. Barulah pada waktu ini beliau menyuruh para Sahabat merajamnya sampai mati.
Tidak ada catatan bahwa dia pernah ditahan, atau wajib lapor dan sebagainya. Dengan kata lain kuat dugaan dia datang kepada Rasulullah minta dihukum karena dia betul-betul ingin bertaubat, ingin membersihkan diri dari dosa. Jadi tidak ada unsur pemaksaan sama sekali.
Menjelang akhir hayat Rasulullah, ada yang menyebutkan sekitar dua tahun sebelum wafat, turun Alquran surat An- Nur yang menyatakan bahwa lelaki dan perempuan yang berzina hendaklah dijatuhi hukuman cambuk seratus kali. Menurut riwayat, sesudah ayat ini turun sampai Rasulullah wafat, tidak ada lagi orang yang dijatuhi hukuman rajam. Kita tidak tahu persis apakah ketiadaan pelaksanaan hukuman rajam tersebut karena tidak ada orang muhsan (yang masih terikat tali perkawinan) yang berzina, atau karena Rasulullah tidak mau lagi menjatuhkan hukuman rajam.
Satu hal yang jelas, sesudah Rasulullah wafat para Sahabat tetap menjatuhkan dan melaksanakan hukuman rajam. Dalam kaitan ini ada beberapa hadis yang menyatakan bahwa penzina yang muhsan dijatuhi hukuman rajam sedang penzina yang ghair muhsan (yang belum kawin) dijatuhi hukuman cambuk. Ada juga beberapa hadis yang menyatakan bahwa selain hukuman cambuk masih ada tambahan hukuman untuk penzina ghair muhsan yaitu dibuang (dikucilkan, dipenjara) selama satu tahun.
Fathi Usman dalam bukunya Al-Fikru Al-Qanuni Al Islami bayna Ushuli-sy Syari‘ah wa Turats-il Fiqh (dan masih ada beberapa buku lainnya) telah mnghimpun hadis-hadis dan riwayat-riwayat tentang penjatuhan hukuman rajam pada masa Rasulullah. Dari riwayat-riwayat ini dia menyimpulkan bahwa pelaksanaan hukuman rajam belumlah jelas sekali, dalam arti masih ada nuansa yang harus dipikirkan bagaimana sebetulnya pengertian hukuman rajam dan bagaimana pula tata cara pelaksanaannya.
Kita masih bisa berdiskusi apakah rajam dilakukan dengan menanam orang tersebut separuh badan, lalu dilempari dengan batu sampai mati? Atau orang tersebut tidak ditanam dan tidak diikat, tetapi hanya sekedar dilempari dengan batu dan apabila dia lari dari tempat pelemparan maka dia dibiarkan lari, tidak perlu (tidak boleh) dikerjar lagi; Atau yang dijatuhi hukuman rajam tersebut hanyalah orang yang mengaku (meminta) dijatuhi hukuman rajam, sedang yang dibuktikan dengan kesaksian (bukan pengakuan, tidak meminta hukuman rajam) akan dijatuhi hukuman cambuk. Dan beberapa pertanyaan lainnya.
Secara ushul fiqih (metodologi penalaran fiqih Islam) beberapa persoalan atau pertanyaan dapat diajukan seputar hukuman rajam ini. Apakah hukuman rajam merupakan persoalan yang dapat diijtihadkan (ijtihadiyah, ta‘aqquliyah) dalam arti tidak dapat dilaksanakan tanpa adanya unsur pikiran atau pertimbangan akal manusia di dalamnya. Atau termasuk persoalan yang tidak dapat diijtihadkan (tawqifiyyah, ta‘abbudiyah) dalam arti sudah cukup jelas sehingga dapat dilaksanakan menurut apa adanya dan lebih dari itu masalah tersebut tidak masuk dalam masalah yang layak atau dapat dipikirkan. Sebagai contoh, masalah jumlah rakaat salat adalah tawqifiyah, tidak layak dan tidak perlu dipikirkan, karena tidak ada faedahnya; sedang tatacara salat adalah ijtihadiyah karena untuk tata cara salat masih ada pertanyaan yang perlu dijawab, paling kurang untuk mengetahui mana pekerjaan yang dianggap wajib (menjadi rukun salat) dan mana pekerjaan yang dianggap sunat (menjadi sunat salat).
Menggunakan kaidah tersebut sebagai ukuran, jelas hukuman rajam merupakan persoalan ijtihadiah, karena hadis-hadis yang ada tidak cukup jelas dan tidak memadai untuk menjawab semua pertanyaan berkaitan dengan menjalankan hukuman rajam sekiranya tidak disertai dengan pemikiran manusia.
Pertanyaan berikutnya, jika itu persoalan ijtihadiyah, bagian apa dari hukuman rajam ini yang dapat dipikirkan dan dapat saling berbeda antar sesama ulama Islam. Begitu juga perlu diketahui, apakah ijtihad tersebut hanya sebatas ijtihadiyah lughawiyah saja atau dapat masuk ke dalam ijtihadiyah ta‘liliyah. Ijtihad yang pertama hanya sebatas memahami kata-kata, tidak dapat mengajukan pertanyaan lebih jauh dari itu. Sedang ijtihad yang kedua, dapat menyentuh persoalan yang lebih mendasar dari sekedar masalah bahasa, akan mencari dan berusaha menemukan apa ilat atau rasio logis dari persoalan yang sedang dibahas atau dipecahkan tersebut. Apakah ijtihad kita hanya sekedar menjawab berapa besar batu yang akan digunakan, siapa yang pertama melempar, berapa jarak lemparannya, kapan waktu melemparnya dan sebagainya. Atau lebih dari sekedar mempertanyakan hal-hal teknis, kita bisa mempertanyakan dan mencari jawab atas berbagai hal yang dianggap lebih prinsipil dan esensial.
Apa yang dianggap penting pada hukuman rajam ini; apakah substansinya yaitu menjatuhkan hukuman sampai mati (menghilangkan nyawa) atau sekedar menunjukkan kerelaan untuk dihukum (karena itu boleh lari dan tidak perlu dikejar); Atau yang dianggap penting adalah tatacara menjatuhkan hukuman tersebut, dalam hal ini dilempari dengan batu dan ditanam separuh badan misalnya, sehingga tidak boleh ditukar dengan hukuman pancung atau hukuman tembak.
Kalau kita sepakat bahwa hukuman rajam termasuk ke dalam persoalan ijtihadiyah ta‘liliyah, maka persoalan itu adalah masih harus dikaji secara sungguh-sungguh, sehingga semua pertanyaan yang muncul dapat dijawab secara jelas, tuntas, rasional dan mencerahkan. Artinya, jika kita sepakati bahwa hukuman rajam adalah masalah ijtihadiyah ta‘liliyah maka semua pertanyaan yang muncul di seputar hukuman rajam harus dapat dijawab secara rasional dalam arti pemahaman dan penafsiran atas ayat Alquran dan hadis-hadis yang berkaitan harus memenuhi persyaratan metodologis.
Sekiranya ketentuan tentang hukuman mati (termasuk rajam) di Arab Saudi kita gunakan sebagai pembanding, maka dengan merujuk kepada Hukum Acara Pidana Arab Saudi (Nizham al-Ijra’at al-Jaza’iyyah) yang ditetapkan dengan Penetapan Raja (Al-Marsum al-Malaki) Nomor M/39, Tanggal 28 Rajab 1422 H (16 Oktober 2001) dapat saya jelaskan sebagai berikut.
Pertama, putusan mahkamah yang menjatuhkan hukuman mati (termasuk hukuman rajam) harus diambil secara aklamasi. Kalau majelis hakim tidak mampu mengambil putusan tentang hukuman mati secara aklamasi, maka anggota majelis tersebut harus ditambah. Setelah anggota majelis hakim ditambah maka putusan untuk menjatuhkan hukuman mati dapat diambil dengan suara terbanyak.
Kedua, putusan tentang hukuman mati (termasuk rajam) yang diterima oleh tertuduh, dengan kata lain dia tidak dimintakan banding atau kasasi tidaklah secara serta merta berkekuatan hukum tetap. Ketua mahkamah yang memeriksa perkara tersebut harus mengirimkan berkas ini kepada Mahkamah Agung untuk diperiksa ulang dan dikukuhkan.
Kalau Mahkamah Agung merasa putusan tersebut tidak memenuhi syarat, maka Mahkamah Agung akan mengembalikan berkas itu dan meminta mahkamah pertama untuk memeriksanya ulang. Dengan kata lain putusan yang menjatuhkan hukuman mati harus dikirim ke Mahkmah Agung (dikasasi) walaupun tidak ada para pihak yang memintanya. Jadi berbeda dengan aturan di Indonesia, bahwa semua putusan yang tidak diminta banding atau kasasi akan langsung berkekuatan hukum tetap.
Ketiga, setelah putusan yang berisi hukuman mati (termasuk rajam) tersebut berkekuatan hukum tetap, maka harus diajukan kepada Raja selaku Kepala Negara untuk memperoleh izinnya. Kalau izin dari Kepala Negara belum turun maka hukuman mati (termasuk di dalamnya rajam) tidak dapat dilaksanakan. Dengan kata lain hukuman mati (termasuk di dalamnya rajam) baru dapat dilaksanakan apabila grasi dari yang bersangkutan telah ditolak oleh Kepala Negara.
Memperhatikan ketentuan di Saudi sebagai bahan pembanding, maka hukuman rajam bukanlah aturan yang sudah siap pakai, tetapi masih merupakan masalah yang harus dipikirkan. Masih ada nuansa dan aturan teknis yang harus ditulis dengan jelas dan rapi sehingga hukuman rajam tidak menjadi hukuman yang dapat diobral atau dijatuhkan secara semena-mena, sehingga berpotensi menzalimi dan merugikan orang lain. Pencantuman hukuman rajam dalam qanun tanpa penjelasan tentang pengertiannya dan juga tata cara penjatuhannya, jelas merupakan satu kelemahan yang tidak bisa dibiarkan dan harus diperbaiki.
Ada yang menarik dalam Rapat Paripurna DPRA tgl 14 September 2009 lalu, mayoritas pembicara, baik yang menyampaikan pandangan umum ataupun pendapat akhir fraksi, menyetujui dan mendukung hukuman rajam. Yang menolak hanyalah fraksi Partai Demokrat itupun secara tersirat minta agar hukuman rajam ditukar dengan ta‘zir empat bulan penjara ditambah dengan dikawinkan. Sebagai tambahan informasi, dalam naskah yang dikirim Pansus kepada Rapat Paripurna DPRA dalam pasal 24 disebutkan: (1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan zina diancam dengan ‘uqubat hudud 100 (seratus) kali cambuk bagi yang belum menikah dan ‘uqubat rajam/hukuman mati bagi yang sudah menikah. Sedang di dalam naskah yang dikirimkan DPRA kepada Pemerintah Aceh (yang direvisi karena ada masukan dari fraksi-fraksi setelah Rapat Paripurna) redaksi tersebut berubah menjadi: (1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan zina diancam dengan ‘uqubat hudud 100 (seratus) kali cambuk bagi yang belum menikah dan ‘uqubat hudud 100 (seratus) kali cambuk serta ‘uqubat rajam/hukuman mati bagi yang sudah menikah.
Mengenai tatacara pelaksanaan hukuman rajam, dalam naskah itu juga tidak tercantum sedikitpun. Tetapi dalam naskah yang dikirimkan DPRA kepada Eksekutif, dimasukkan sebuah pasal baru (244) yang berbunyi: Jika terhukum dihukum dengan ‘uqubat rajam/hukuman mati, maka pelaksanaan hukumannya dilakukan oleh petugas yang ditunjuk oleh jaksa yang mekanisme pelaksanaannya akan diatur oleh Mahkamah Agung. Mengenai pengertian rajam sendiri, tidak ditemukan rumusannya.
Ingin saya katakan, bahwa Islam agama rahmatan lil alamin. Salah satu prinsipnya, keliru dalam menghukum sehingga tidak menjatuhkan hukuman kepada orang yang bersalah adalah lebih baik daripada keliru dalam menghukum sehingga menjatuhkan hukuman kepada orang yang tidak bersalah. Karena itu, lepas dari apakah kedua qanun ini sudah berlaku atau belum, membiarkan hukuman rajam dalam bentuk seperti sekarang ini sangatlah merugikan umat Islam Aceh.
Rumusan yang ada sekarang memberi peluang kepada pihak luar untuk berimajinasi secara liar dan sensasional, yang umumnya akan menimbulkan citra negatif. Jadi kita perlu mendukung dan mendorong agar DPRA yang baru memberi prioritas utama untuk menyempurnakan dan memperbaiki kelemahan yang ada dalam kedua qanun ini sehingga wajah Islam di Aceh yang rahmatan lil alamin tetap dapat kita jaga dengan baik. Mari memohon hidayah dan perlindungan hanya kepada Allah SWT. Wallahu alam bish-shawab.
Oleh Prof.Dr. Al Yasa’ Abubakar
Penulis adalah dosen pada IAIN Ar-Raniry, mantan Kadis Syariat Islam Aceh.
Comments :
Posting Komentar