Pengertian riddah atau murtad; menurut Al Kasani al Hanafi bahwa sudah termasuk murtad orang-orang yang melontarkan kalimat kufur dengan lisan setelah adanya iman, jadi riddah adalah kembalinya seseorang dari keimanan kepada kekufuran.
Ash Shaawi al Maliki berkata: “Riddah adalah kufurnya seorang muslim dengan ucapan terang-terangan, atau ucapan yang yang menjurus kepada kekafiran atau mengerjakan sesuatu yang mengandung kekufuran. Sedang menurut Asy Syarbaini asy Syafi’i riddah adalah memutuskan atau melepaskan diri dari Islam dengan niat ataupun perbuatan, demikian pula ucapan baik yang berupa olok-olok, penentangan ataupun berbentuk keyakinan.
Ash Shaawi al Maliki berkata: “Riddah adalah kufurnya seorang muslim dengan ucapan terang-terangan, atau ucapan yang yang menjurus kepada kekafiran atau mengerjakan sesuatu yang mengandung kekufuran. Sedang menurut Asy Syarbaini asy Syafi’i riddah adalah memutuskan atau melepaskan diri dari Islam dengan niat ataupun perbuatan, demikian pula ucapan baik yang berupa olok-olok, penentangan ataupun berbentuk keyakinan.
Adapun Al Bahuti al Hanbali berpendapat bahwa orang murtad menurut syara’ yaitu orang yang ingkar (kufur) setelah keislamannya baik berupa ucapan, keyakinan, keraguan ataupun perbuatan. Dari pengertian tersebut, dapat kita simpulkan bahwa riddah (murtad) adalah kembali atau berbaliknya seseorang dari keimanan. Dan secara bahasa ia memang memiliki arti kembali sebagaimana difirmankan oleh Allah, artinya: “Dan janganlah kamu lari ke belakang (karena takut kepada musuh).” (Al -Maidah: 21).
Berbaliknya seseorang dari Islam dapat saja dalam bentuk i’tiqad (keyakinan), ucapan dan perbuatan, dan ini sejalan dengan pengertian iman yang juga mencakup keyakinan hati, ucapan lisan dan perbuatan anggota badan. Atau secara rinci bentuk riddah dapat kita jabarkan sebagai berikut.
Pertama, Riddah dengan ucapan hati seperti mendustakan wahyu yang diturunkan Allah seperti tidak mengimani bahwa semua ayat Quran itu kalamullah atau berkeyakinan adanya Pencipta selain Allah dsb. Kedua, Riddah dengan perbuatan hati seperti membenci Allah dan RasulullahNya, sombong dan enggan mengikuti perintah Rasul saw. Ketiga, Riddah dengan ucapan lisan seperti mencela Allah atau mencela Rasulullah, berolok-olok terhadap agama dan sebagainya. Keempat, Riddah dengan perbuatan anggota badan seperti sujud kepada berhala, menghina Mushaf Al Qur’an dan lain sebagainya.
Hukuman bagi orang murtad (pelaku riddah) adalah dapat dikenakan hukuman bunuh (mati) tentunya setelah melalui proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan penetapan oleh Mahkamah Syar’iyah. Eksekusinya tentunya setelah ada ketetapan tadi berkekuatan hukum.
Shahibul Fatwa berkata: “Sesungguhnya jikalau pelaku murtad itu tidak dihukum mati maka tentu setiap orang yang memeluk Islam akan (seenaknya, red) keluar dari Islam. Hukuman (mati) tersebut tidak lain adalah untuk menjaga pemeluk Islam dan juga agama Islam. Hal ini untuk mencegah orang dari main-main dalam agama dan dengan leluasa dan seenaknya keluar darinya.”
Orang murtad yang dihukum mati itu tidak dimandikan, tidak dishalatkan dan tidak dikuburkan di pemakaman kaum muslimin. Juga tidak berhak saling waris mewarisi dengan kerabatnya yang muslim serta hartanya merupakan harta fai’ (rampasan namun bukan karena perang) diserahkan kepada Baitul Mal untuk pengelolaan.
Di antara dalil yang menunjukkan pensyari’atan hukuman mati bagi orang murtad adalah hadits riwayat Imam al Bukhari, bahwasannya Ali bin Abi Thalib ra pernah menghukum orang zindik dengan cara membakar. Lalu berita itu sampai kepada Ibnu Abbas ra maka ia berkata: “Kalau saja aku pada tempatmu, maka aku tidak membakar mereka karena larangan Nabi: “Janganlah kalian menyiksa dengan siksaan Allah.” Dan yang aku lakukan adalah membunuh mereka sebagaimana sabda Rasulullah saw: “Barang siapa yang mengganti agamanya (murtad, red) maka bunuhlah ia.” Maksud dari mengganti agama adalah mengganti Islam dengan agama lain, sebab pada dasarnya agama itu hanyalah Islam, sebagaimana firman Allah, artinya: “Barang siapa mencari agama selain agama Islam maka sekali-kali tidak akan diterima (agama itu) daripadanya.” (Q.S,Ali Imran: 85).
Para shahabat yang senantiasa memegang teguh hukum seperti tersebut dalam sebuah riwayat ketika Muadz bin Jabal mengunjungi Abu Musa Al Asy’ari (ketika itu keduanya sama-sama menjadi Amir di Yaman) ia melihat ada seorang laki-laki yang sedang diikat, maka Muadz bertanya: “Siapakah orang ini?” Abu Musa menjawab: “Ia dulu seorang Yahudi, kemudian masuk Islam namun kini berbalik lagi menjadi Yahudi. Abu Musa melanjutkan: “Silakan duduk!” Muadz lalu menjawab: “Tidak! Aku tidak akan duduk sehingga hukum Allah dan RasulNya ditegakkan untuk orang ini,” (ia mengucapkan ini tiga kali). Maka di putuskanlah perkara orang tersebut dan akhirnya dihukum mati. (Riwayat Al Bukhari).
Dalam Al Bidayah, Ibnu Katsir berkata tentang peristiwa-peritiwa di tahun 167 H di antaranya adalah: “Al-Mahdi senantiasa memantau perkembangan para zindik di seluruh penjuru negeri, menghadirkan serta mengadili mereka. Lalu menghukum mati mereka dalam jarak hanya sejengkal dari hadapannya.”
Yang tak kalah masyhurnya adalah kisah dihukum matinya Al Hallaj yang mengaku dirinya memiliki sifat ketuhanan serta menyebarkan faham hulul (bersatunya hamba dengan Rabb). Ibnu Katsir menggambarkan bagaimana proses eksekusi terhadap Al Hallaj ini, beliau berkata: “Di datangkan Al Hallaj, lalu dicambuk seribu kali. Setelah itu kedua tangan dan kakinya dipotong dan kepalanya dipenggal. Jasadnya dibakar dan abunya di hanyutkan di sungai Tigris (nama sungai di Irak, red). Kepalanya ditancapkan di sebuah jembatan kota Baghdad selama dua hari, kemudian dibawa ke Khurasan dan dikelilingkan di seluruh penjuru kota.
Riddah model Al Hallaj ini bukan sekedar riddah biasa, namun mengandung pelecehan terhadap Allah dan RasulNya, permusuhan dan penghinaan yang mendalam serta hujatan terhadap agama Allah. Untuk zaman kita ini mungkin bisa kita sebut nama Salman Rushdi yang tak kalah kerasnya dalam memusuhi Islam dan menghina agama Allah (meski mengaku muslim).
Ibnu Taymiyah berkata: “Riddah itu ada dua macam; riddah mujarradah (murni) dan riddah mughalazhah (kelas berat) yang secara khusus disyariatkan hukuman mati. Kedua-duanya memang terdapat dalil yang menjelaskan di haruskannya hukuman mati bagi pelakunya, hanya saja dalil yang menunjukkan gugurnya hukuman mati dengan bertaubat tidak mencakup kedua kelompok tersebut, tapi hanya untuk kelompok yang pertama yaitu riddah mujarradah (murni). Tinggallah kelompok kedua (riddah mughalazhah), dimana telah jelas dalil diwajibkannya hukuman mati bagi pelakunya, serta tidak ada nash maupun ijma’ yang menunjukkan gugurnya hukuman mati bagi dia. Qiyas (penyamarataan) dalam hal ini tidak bisa diterima karena adanya perbedaan yang jelas (antara keduanya).”
Beberapa penyebab riddah Jahil (bodoh) terhadap agama Allah dan lemah dalam berpegang dengan prisip-prisip akidah yang benar. Terutama sekali ketidaktahuan terhadap hal-hal yang menjerumuskan ke dalam kekufuran, serta resiko-resiko orang yang murtad baik sewaktu di dunia maupun di akherat.
Menyebarnya faham irja’, bagi mereka (murji’ah) bahwa riddah hanya terjadi dalam masalah i’tiqad saja, tidak mencakup perkataan dan perbuatan. Sebagaimana keyakianan mereka bahwa iman itu cukup tashdiq (membenarkan) saja. Bagi mereka orang berkata dan berbuat kekufuran tetap dianggap mukmin karena masih ada keyakinan. Ini sangat berbahaya karena bisa jadi menghina dan mengolok-olok terhadap Allah atau sujud kepada berhala tidak dianggap kekufuran.
Terasingnya syariat Islam di negara-negara yang banyak berpenduduk muslim. Jika syariat Islam diterapkan, maka orang-orang akan amat berat dan malas mengikutinya, karena mereka mau berbuat semaunya, Na’udzu billahi Min Zaalik. Kekacauan metode berfikir sebagian cendekiawan muslim yang umumnya belajar di negara Barat, maka tak heran dimasa ini banyak pemikir-pemikir yang melontarkan ide aneh seperti Jaringan Islam Liberal (JIL) dan sejenisnya yang bertentangan dengan prinsip akidah Islam yang lurus.
Termasuk faktor yang mendukung terjadinya riddah adalah kurangnya perhatian dari sebagian ulama dan pendakwah terhadap masalah ini, dengan alasan sudah ada pihak yang menangani atau menganggap kurang perlu karena masih ada kegiatan yang lain. Demikian, Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.
Bagi pembaca yang ingin mengkaji masalah ini lebih dalam lagi, dapat merujuk pada kitab-kitab muktabar, antara lain: Al-Fatawa, Li-Syaikhil Islam, jilid 20 halaman 102; Fathul Baari jilid 13, halaman 272; Al-Bidayah Wan Nihaayah Li Ibnu Katsir, jilid 10 halaman 149 dan jilid 11 halaman 143; dan kitab Ash-Shaarimul Masluul, jilid 3 halaman 696.
Source : Prof.Dr.Tgk.H. Muslim Ibrahim, MA
Comments :
Posting Komentar